Floral and Swirl Ornament - Hijri Calendar Widget - Alhabib Islamic Web Service and Accessories
Disusun Oleh Abu Aufa
Bagian Pertama dari Dua Tulisan 1/2


Keadaan Umat di Najd Pada Masa Sebelum Beliau

[1]. Keadaan Sosial Politik Najd Kala Itu.
Mayoritas dari penduduk Najd kala itu terdiri dari kabilah-kabilah Arab yang dikenal akan nasabnya, dan para pendatang yang berdatangan untuk tinggal di Najd hanyalah minoritas saja.

Waktu itu sisi pandang masyarakat Najd terhadap seseorang tergantung pada nasab yang dia miliki. Hal ini sangat menyolok sekali terutama dalam urusan perkawinan, lowongan mendapat pekerjaan dan lain sebagainya. Masyarakat Najd terbagi menjadi dua kelompok atau dua golongan, Hadhari dan Badawi (Badui), meskipun didapati perubahan sifat atau ciri pada sebagian penduduk. Yang demikian itu menimbulkan kesulitan bagi kita untuk menggolongkan kelompok yang ketiga ini, karena mereka itu bukan Badui murni dan juga tidak Hadhari murni [1]

Orang-orang Badui merasa bangga atas diri mereka dan kehidupan padang pasirnya. Mereka merasa bahwa orang-orang Hadhari hina di hadapan mereka. Penunjang kehidupan ekonomi mereka adalah kekayaan binatang, dan yang paling berharga bagi mereka diantara binatang-binatang yang ada adalah unta. Dan kebetulan daerah Najd adalah daerah yang kaya akan unta sehingga tidak aneh kalau Najd biasa disebut dengan Ummul Ibil [2].

Adapun orang-orang Hadhari (orang-orang kota) memiliki pandangan yang berbeda dengan orang-orang Badui, yang mana sebagian mereka berpendapat bahwa sifat kejantanan yang ada pada orang-orang Hadhari ataupun yang ada pada orang-orang Badui berada pada garis yang sama [3], sebagian yang lain berpendapat bahwa orang-orang Badui harus diperlakukan dengan kekerasan, karena dengan cara demikian mereka bisa menjadi baik[4]

Adapun penunjang kehidupan ekonomi mereka adalah bertani. Sedangkan perdagangan adalah satu-satunya penunjang kehidupan ekonomi yang ada atau dimiliki oleh orang-orang Badui maupun orang-orang Hadhari.

Mengenai hal kepemimpinan, sangatlah jauh berbeda antara orang-orang Badui dengan orang-orang Hadhari. Di mana seorang pemimpin yang ada di kalangan orang-orang Badui haruslah memenuhi kriteria seorang pemimpin, misalnya memiliki derajad lebih dari yang lain, pemberani dan memiliki pandangan dan gagasan yang jitu. Cara-cara mereka ini lebih mirip dengan sistem demokrat. Adapun orang-orang Hadhari lebih cenderung pemilihan pemimpin mereka jatuh ke tangan orang-orang yang memilki kekuatan dan kekuasaan, cara-caranyapun sudah banyak dicampuri dengan kelicikan dan tipu muslihat demi teraihnya kepemimpinan tersebut.

[2]. Keadaan Kegaamaan Di Najd Waktu Itu.
Penduduk negeri Najd sebelum adanya dakwah yang dilakukan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab keadaannya menyedihkan. Keadaan yang apabila seorang mukmin menyaksikannya tidak akan ridla selama-lamanya. Syirik (persekutuan) terhadap Allah Subhanahu wa Ta'ala tumbuh dengan suburnya, baik syirik besar maupun syirik kecil. Sampai-sampai kubah, pepohonan, bebatuan, gua dan orang-orang yang dianggap sebagai wali pun disembah sebagaimana layaknya Allah Subhanahu wa Ta'ala. Penduduk Najd kala itu telah terpesona dengan kehidupan dunia dan syahwat. Sehingga pintu-pintu kesyirikan terbuka lebar untuk mereka. Marja' (sandaran) mereka kepada ahli sihir dan para dukun, sehingga negeri Najd terkenal akan hal itu. Bahkan Makkah, Madinah dan Yaman menjadi basis kemusyrikan kala itu. Maka Allah Subhanahu wa Ta'ala menyelamatkan umat Islam ini dengan dilahirkannya seorang mujaddid besar, penegak panji-panji tauhid dan penyampai kebenaran yang bersumber dari Allah dan Rasul-Nya. Dialah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab, yang kelak berjuang mati-matian dalam rangka tegaknya tauhidullah dan menebas habis setiap yang berbau syirik terhadap Allah Subhanahu wa Ta'ala.

Nasab dan Kelahiran Beliau
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab hidup ditengah-tengah keluarga yang dikenal denan nama keluarga Musyarraf (Ali Musyarraf), dimana Ali Musyarraf ini cabang atau bagian dari Kabilah Tamim yang terkenal. Sedangkan Musyarraf adalah kakek beliau ke-9 menurut riwayat yang rajih. Dengan demikian nasab beliau adalah Muhammad bin Abdul Wahhab bin Sulaiman bin Ali bin Ahmad bin Rasyid bin Buraid bin Muhammad bin Buraid bin Musyarraf [5]

Beliau dilahirkan di negeri Uyainah pada tahun 1115H. Daerah Uyainah ini terletak di wilayah Yamamah yang masih termasuk bagian dari Najd. Letaknya berada di bagian barat laut dari kota Riyadh yang jaraknya (jarak antara Uyainah dan Riyadh) lebih kurang 70 Km.

Perjalanan Beliau Dalam Menuntut Ilmu
Ibnu Ghannam berkata : "Muhammad bin Abdul Wahhab telah menampakkan semangat thalabul-ilmi nya sejak usia belia. Beliau memiliki kebiasaan yang sangat berbeda dengan anak-anak sebayanya. Beliau tidak suka dengan main-main dan perbuatan yang sia-sia.[6]. Beliau mulai thalabul-ilmi dengan mendalami al-Qur'anul Karim, sehingga tidak aneh kalau beliau sudah hafal ketika umur 10 tahun.[7]. Yang demikian itu terjadi pada diri beliau dikarenakan banyak faktor yang mendukungnya. Diantaranya adalah semangat beliau yang sangat menggebu-gebu dalam menuntut ilmu, juga keadaan lingkungan keluarga yang benar-benar mendorong dan memicu beliau untuk terus menerus menuntut ilmu. Dan Syaikh Abdul Wahhab-lah guru dan sekaligus orang tua beliau yang pertama-tama mencetak kepribadian beliau.

Sampai-sampai ketika ayah beliau Syaikh Abdul Wahhab menulis surat kepada seorang temannya mengatakan (dalam surat tsb) : " Sesungguhnya dia (Muhammad bin Abdul Wahab) memiliki pemahaman yang bagus, kalau seandainya dia belajar selama satu tahun niscaya dia akan hafal, mapan serta menguasai apa yang dia pelajari. Aku tahu bahwasanya dia telah ihtilam (baligh) pada usia dua belas tahun. Dan aku melihatnya sudah pantas untuk menjadi imam, maka aku jadikan dia sebagai imam shalat berjamaah dikarenakan ma'rifah dan ilmunya tentang ahkam. Dan pada usia balighnya itulah aku nikahkan dia. Kemudian setelah nikah, dia meminta izin kepadaku untuk berhaji, maka aku penuhi permintaannya dan aku berikan segala bantuan demi tercapai tujuannya tersebut. Lalu berangkatlah dia menunaikan ibadah haji, salah satu rukun dari rukun-rukun Islam".[8]

Setelah berhaji beliau belajar dengan para Ulama Haramain (Makkah dan Madinah) selama lebih kurang dua bulan. Kemudian setelah itu kembali lagi ke daerah Uyainah. Setelah pulang dari haji beliau terus memacu belajar. Beliau belajar dari ayah yang sekaligus sebagai guru pelajaran Fiqh Hambali, tafsir, hadits dan tauhid.[9]

Tidak berapa lama kemudian Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab menunaikan ibadah haji untuk yang kedua kalinya. Kemudian menuntut ilmu dari Ulama Haramaian, khususnya para ulama Madinah Al-Munawarah. Di Madinah beliau belajar dien dengan serius, dan Madinah saat itu adalah tempat berkumpulnya ulama dunia. Diantara guru beliau yang paling beliau kagumi dan senangi adalah Syaikh Abdullah bin Ibrahim bin Saif an-Najdi dan Syaikh Muhammad Hayat as-Sindi. Setelah beliau merasa cukup untuk menuntut ilmu dari para ulama Madinah al-Munawwarah ini maka beliau kembali lagi ke kampung halaman, Uyainah.

Setahun kemudian beliau memulai berkelana thalabul-ilmi menuju daerah Irak dan Ahsaa.[10] Kota Damaskus saat itu sebuah kota yang sarat akan kegiatan keislaman. Disana terdapat sebuah madrasah yang digalakkan padanya ke ilmuan tentang madzhab Hambali dan kegiatan-kegiatan yang menunjang keilmuan tersebut. Oleh karena itu negeri yang pertama kali di cita-citakannya untuk menuntut ilmu adalah Syam. Di negeri itulah Damaskus berada. Namun dikarenakan perjalanan dari Najd menuju Damaskus secara langsung sangat sulit, maka Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab pergi menuju Bashrah (Irak),[11] pada saat itu beliau berkeyakinan bahwa perjalanan dari Bashrah menuju Damaskus sangatlah mudah.

Setelah di Bashrah, ternyata apa yang beliau yakini sementara ini tidak sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya. Perjalanan dari Basrah menuju Damaskus yang semula dianggap mudah ternyata sulit. Maka bertekadlah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab untuk tinggal di Bashrah. Beliau belajar Fiqh dan Hadits dari sejumlah ulama yang berada di kota Bashrah tersebut -hanya saja dari nara sumber yang ada- tidak menyebutkan nama guru-guru beliau yang ada di kota tersebut kecuali hanya seorang saja yaitu Syaikh Muhammad al-Majmu'i.[12] Disamping ilmu fiqh dan hadits beliau juga mendalami ilmu Qawaidul-Arabiyyah sehingga beliau betul-betul menguasainya. Bahkan selama tinggal di Bashrah beliau sempat mengarang beberapa kitab yang berkenaan dengan Qawaidul Lughah al-Arabiyyah. [13]

Ternayata tidak semua orang yang ada di Bashrah senang terhadap Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan ulama-ulama yang sepemikiran dengan beliau, khususnya para ulama suu' yang ada di Bashrah, dimana mereka tidak henti-hentinya menentang dan memusuhi beliau. Nah dikarenakan ulah dan permusuhan mereka terhadap Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab itulah akhirnya beliau dengan berat hati meninggalkan negeri Bashrah, tempat beliau belajar dan dakwah saat itu.

Kemudian beliau pergi menuju suatu tempat yang bernama az-Zubair. Setelah perjalanan beberapa saat di sana, beliau melanjutlan perjalanan menuju al-Ahsaa'. Di daerah tersebut beliau melanjutkan studinya dengan belajar ilmu dien dari para ulama al-Ahsaa'. Di antara guru-guru beliau yang ada di al-Ahsaa' tersebut adalah Syaikh Abdullah bin Fairuz, Syaikh Abdullah bin Abdul Lathif serta Syaikh Muhammad bin Afaliq. Dan memang, Ahsaa' saat itu merupakan gudang nya ilmu sehingga orang-orang Najd dan orang-orang sebelah timur jazirah Arab berdatangan ke Ahsaa' untuk menuntut ilmu di sana.

Kemudian Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab melanjutkan kelana thalabul-ilmi nya ke daerah Haryamala dan tiba di sana pada tahun 1115H [14]. Dimana kebetulan ayah beliau yang tadinya menjadi qadhi di Uyainah telah pindah ke daerah tersebut. Maka berkumpullah beliau dengan ayahnya di sana.

Tapi baru dua tahun bertemu dan berkumpul dengan orang tua beliau. Ayah beliau Syaikh Abdul Wahhab bin Sulaiman meninggal dunia, tepatnya pada tahun 1153H [15]. Sepeninggal ayahnya, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab menggantikan ayahnya dalam melaksanakan segala aktivitasnya di negeri Haryamala tersebut. Dalam waktu yang cukup singkat nama beliau sudah mulai tersohor. Sehingga orang-orang pun mulai berdatangan ke Haryamala untuk menuntut ilmu dari beliau. Bahkan para pemimpin negeri pun di sekitar Haryamala pun menerima ajakan dan dakwah beliau. Sehingga tidak aneh kalau Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab hanya dua tahun tinggal di Haryamala (sepeninggal ayahnya) demi menyambut ajakan dan tawaran Amir negeri Uyainah Utsman bin Ma'mar untuk tinggal di negeri Uyainah, negeri kelahiran beliau.[16].

Dakwah Beliau Sebelum Bergabung Dengan Amir Dir'iyyah
Sebenarnya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab senantiasa berdakwah di setiap tempat dimana beliau belajar. Di Najd itu sendiri atau di Bashrah, di Az-Zubair, al-Ahsaa', Haryamala dan lain sebagainya. Akan tetapi beliau mulai mengerahkan segala apa yang dimiliki sekembali beliau dari Haryamala, tepatnya mulai tahun 1155H. Beliau mulai dakwah mubarakah tersebut di negeri Uyainah tempat kelahiran dan kampung halaman beliau.

Amir Uyainah Utsman bin Muhammad bin Ma'mar sangat gembira dengan kedatangan beliau, bahkan dia berkata kepada Syaikh : "Tegakkanlah dakwah di jalan Allah dan kami senantiasa akan membantumu". Maka mulaialah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab sibuk dengan urusan dakwah, ta'lim, serta mengajak manusia kepada kebaikan dan saling mencintai karena Allah Subhanahu wa Ta'ala. Sehingga dalam waktu yang cukup singkat nama beliau sudah masyhur di kalangan penduduk Uyainah. Mereka datang ke tempat Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab untuk thallabul ilmi, bahkan penduduk negeri sebelah pun datang ke Uyainah dalam rangka ingin belajar kepada Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab.

Pada suatu hari Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab menemui Amir Uyainah, kemudian beliau berkata : "Wahai Amir (Utsman bin Muhammad bin Ma'mar), izinkanlah saya untuk menghancurkan kubah Zaid bin Khathab, karena sungguh kubah tersebut dibangun dalam rangka menentang syari'at Allah Subhanahu wa Ta'ala dan Allah Ta'ala tidak akan ridha selama-lamanya dengan amalan tersebut. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pun telah melarang dijadikannya kuburan sebagai masjid, kubah Zaid ini telah menjadi fitnah bagi manusia dan merubah aqidah mereka. Oleh karena itu wajib bagi kita untuk menghancurkannya". Kemudian Amir Uyainah menjawab : "Silakan kalau engkau memang menghendaki yang demikian itu". Lalu Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab memohon kepada Amir Uyainah agar beliau dibantu oleh tentara Uyainah, karena ditakutkan akan adanya perlawanan dari penduduk desa Jabaliyah, desa terdekat dari kubah Zaid bin Khathab.

Maka keluarlah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab bersama 600 tentara Uyainah dan di tengah-tengah mereka ada Utsman bin Muhammad bin Ma'mar, Amir negeri Uyainah. Setelah penduduk Jabaliyah mendengar khabar bahwa Kubah Zaid bin Khathab akan dihancurkan, maka serempak mereka berniat untuk mempertahankan kubah tersebut. Hancur leburlah kubah Zaid bin Khathab yang sudah lama mereka agung-agungkan dan mereka sembah. Demikian Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, beliau selalu memberantas hal-hal yang berbau syirik dan hal-hal yang mengarah kepada kesyirikan. Beliau menegakkan hukuman had (hukuman cambuk atau rajam atau potong tangan bagi yang berhak). Sehingga, sampailah berita tentang beliau ini ke telinga Amir Al-Ahsaa', saat itu Sulaiman bin Urai'ir al-Khalidi, dan para pengikutnya dari bani Khalid. Khabar yang dipahami oleh mereka bahwa Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab adalah orang yang suka menhancurkan kubah dan suka merajam wanita. Akhirnya dia berkirim surat kepada Amir Uyainah agar Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dibunuh, kalau tidak, maka dia tidak akan menyerahkan pajak emas yang biasa diberikan kepada Amir Uyainah dan dia pun akan menyerang negeri Uyainah.

Rasa cemas pun menghantui diri Amir Uyainah. Yang demikian pada akhirnya dia menemui Syaikh Muhamad bin Abdul Wahhab seraya berkata : "Wahai Syaikh .... sesungguhnya Amir Al-Ahsaa' telah menulis surat kepadaku begini dan begini. Dia menginginkan agar kami membunuhmu. Kami tidak ingin untuk membunuhmu ! dan kami pun tidak berani dengan dia, tiada daya dan upaya pada kami untuk menentangnya. Oleh karena itu kami berul-betul mengharap Syaikh agar sudi meninggalkan negeri Uyainah ini". Kemudian Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab berkata : "Wahai Amir ...., sesungguhnya apa yang aku dakwahkan ini adalah agama Allah dan realisasi kalimat La ilaaha illallah Muhammadur Rasulullah. Maka barangsiapa yang berpegang teguh dengan agama ini serta menegakkannya di bumi Allah ini, niscaya Allah Subhanahu wa Ta'ala akan menolongnya dan memberinya kekuatan serta menjadikan dia sebagai penguasa di negeri para musuhnya. Jika engkai bersabar dan beristiqamah serta mau menerima ajaran ini, niscaya Allah Subhanahu wa Ta'ala akan menolongmu, menjagamu dari Amir Al-Ahsaa' dan yang lainnya dari musuh-musuhmu, serta Allah Ta'ala akan menjadikanmu sebagai penguasa atas negerinya dan keluarganya". Kemudian Amir Uyainah berkata lagi : "Wahai Syaikh ...., sesungguhnya kami tiada daya dan upaya untuk memeranginya dan kami tiada mempunyai kesabaran untuk menentangnya".

Maka tiada pilihan lain bagi syaikh Muhamamd bin Abdul Wahhab, kecuali harus keluar dan meninggalkan negeri Uyainah, kampung halaman beliau sendiri.

[Diterjemahkan dan dinukil dari buku : Al-Imam Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab Da'watuhu Wasiiratuhu, Lisamahatisy Asyaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz. Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, Hayaatuhu Wafikruhu, Ta'lif Dr.Abdullah Ash-Shalih Al-'Utsaimin, Penyusun Abu Aufa, dan disalin ulang dari Majalah As-Sunnah Edisi 10/1/1415-1994]
Pengertian Wahabi Dan Siapa Muhammad Bin Abdul Wahhab
21.00 | Author: الفجر الصادق
Oleh
Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu

Orang-orang biasa menuduh "wahabi " kepada setiap orang yang melanggar tradisi, kepercayaan dan bid'ah mereka, sekalipun kepercayaan-kepercayaan mereka itu rusak, bertentangan dengan Al-Qur'anul Karim dan hadits-hadits shahih. Mereka menentang dakwah kepada tauhid dan enggan berdo'a (memohon) hanya kepada Allah semata.

Suatu kali, di depan seorang syaikh penulis membacakan hadits riwayat Ibnu Abbas yang terdapat dalam kitab Al-Arba'in An-Nawa-wiyah. Hadits itu berbunyi.

"Artinya : Jika engkau memohon maka mohonlah kepada Allah, dan jika engkau meminta pertolongan, maka mintalah pertolongan kepa-da Allah." [Hadits Riwayat At-Tirmidzi, ia berkata hadits hasan shahih]

Penulis sungguh kagum terhadap keterangan Imam An-Nawawi ketika beliau mengatakan, "Kemudian jika kebutuhan yang dimintanya -menurut tradisi- di luar batas kemampuan manusia, seperti meminta hidayah (petunjuk), ilmu, kesembuhan dari sakit dan kesehatan maka hal-hal itu (mesti) memintanya hanya kepada Allah semata. Dan jika hal-hal di atas dimintanya kepada makhluk maka itu amat tercela."

Lalu kepada syaikh tersebut penulis katakan, "Hadits ini berikut keterangannya menegaskan tidak dibolehkannya meminta pertolongan kepada selain Allah." Ia lalu menyergah, "Malah sebaliknya, hal itu dibolehkan!"

Penulis lalu bertanya, "Apa dalil anda?" Syaikh itu ternyata marah sambil berkata dengan suara tinggi, "Sesungguhnya bibiku berkata, wahai Syaikh Sa'd![1]" dan Aku bertanya padanya, "Wahai bibiku, apakah Syaikh Sa'd dapat memberi manfaat kepadamu?" Ia menjawab, "Aku berdo'a (meminta) kepadanya, sehingga ia menyampaikannya kepada Allah, lalu Allah menyembuhkanku."

Lalu penulis berkata, "Sesungguhnya engkau adalah seorang alim. Engkau banyak habiskan umurmu untuk membaca kitab-kitab. Tetapi sungguh mengherankan, engkau justru mengambil akidah dari bibimu yang bodoh itu."

Ia lalu berkata, "Pola pikirmu adalah pola pikir wahabi. Engkau pergi berumrah lalu datang dengan membawa kitab-kitab wahabi."

Padahal penulis tidak mengenal sedikitpun tentang wahabi kecuali sekedar penulis dengar dari para syaikh. Mereka berkata tentang wahabi, "Orang-orang wahabi adalah mereka yang melanggar tradisi orang kebanyakan. Mereka tidak percaya kepada para wali dan karamah-karamahnya, tidak mencintai Rasul dan berbagai tuduhan dusta lainnya."

Jika orang-orang wahabi adalah mereka yang percaya hanya kepada pertolongan Allah semata, dan percaya yang menyembuhkan hanyalah Allah, maka aku wajib mengenal wahabi lebih jauh."

Kemudian penulis tanyakan jama'ahnya, sehingga penulis mendapat informasi bahwa pada setiap Kamis sore mereka menyelenggarakan pertemuan untuk mengkaji pelajaran tafsir, hadits dan fiqih.

Bersama anak-anak penulis dan sebagian pemuda intelektual, penulis mendatangi majelis mereka. Kami masuk ke sebuah ruangan yang besar. Sejenak kami menanti, sampai tiada berapa lama seorang syaikh yang sudah berusia masuk ruangan. Beliau memberi salam kepada kami dan menjabat tangan semua hadirin dimulai dari sebelah kanan, beliau lalu duduk di kursi dan tak seorang pun berdiri untuknya. Penulis berkata dalam hati, "Ini adalah seorang syaikh yang tawadhu' (rendah hati), tidak suka orang berdiri untuknya (dihormati)."


Lalu syaikh membuka pelajaran dengan ucapan,

"Artinya : Sesungguhnya segala puji adalah untuk Allah. Kepada Allah kami memuji, memohon pertolongan dan ampunan.", dan selanjutnya hingga selesai, sebagaimana Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam biasa membuka khutbah dan pelajarannya.

Kemudian Syaikh itu memulai bicara dengan menggunakan bahasa Arab. Beliau menyampaikan hadits-hadits seraya menjelaskan derajat shahihnya dan para perawinya. Setiap kali menyebut nama Nabi, beliau mengucapkan shalawat atasnya. Di akhir pelajaran, beberapa soal tertulis diajukan kepadanya. Beliau menjawab soal-soal itu dengan dalil dari Al-Qur'anul Karim dan sunnah Nabi Shalallaahu alaihi wasalam . Beliau berdiskusi dengan hadirin dan tidak menolak setiap penanya. Di akhir pelajaran, beliau berkata, "Segala puji bagi Allah bahwa kita termasuk orang-orang Islam dan salaf.[2]. Sebagian orang menuduh kita orang-orang wahabi. Ini termasuk tanaabuzun bil alqaab (memanggil dengan panggilan-panggilan yang buruk). Allah melarang kita dari hal itu dengan firmanNya,

"Artinya : Dan janganlah kamu panggil-memanggil dengan gelar-gelar yang buruk." [Al-Hujurat: 11]

Dahulu, mereka menuduh Imam Syafi'i dengan rafidhah. Beliau lalu membantah mereka dengan mengatakan, "Jika rafidah (berarti) mencintai keluarga Muhammad. Maka hendaknya jin dan manusia menyaksikan bahwa sesungguhnya aku adalah rafidhah."

Maka, kita juga membantah orang-orang yang menuduh kita wahabi, dengan ucapan salah seorang penyair, "Jika pengikut Ahmad adalah wahabi. Maka aku berikrar bahwa sesungguhnya aku wahabi."

Ketika pelajaran usai, kami keluar bersama-sama sebagian para pemuda. Kami benar-benar dibuat kagum oleh ilmu dan kerendahan hatinya. Bahkan aku mendengar salah seorang mereka berkata, "Inilah syaikh yang sesungguhnya!"

PENGERTIAN WAHABI
Musuh-musuh tauhid memberi gelar wahabi kepada setiap muwahhid (yang mengesakan Allah), nisbat kepada Muhammad bin Abdul Wahab, Jika mereka jujur, mestinya mereka mengatakan Muhammadi nisbat kepada namanya yaitu Muhammad. Betapapun begitu, ternyata Allah menghendaki nama wahabi sebagai nisbat kepada Al-Wahhab (Yang Maha Pemberi), yaitu salah satu dari nama-nama Allah yang paling baik (Asmaa'ul Husnaa).

Jika shufi menisbatkan namanya kepada jama'ah yang memakai shuf (kain wol) maka sesungguhnya wahabi menisbatkan diri mereka dengan Al-Wahhab (Yang Maha Pemberi), yaitu Allah yang memberikan tauhid dan meneguhkannya untuk berdakwah kepada tauhid.

MUHAMMAD BIN ABDUL WAHAB
Beliau dilahirkan di kota 'Uyainah, Nejed pada tahun 1115 H. Hafal Al-Qur'an sebelum berusia sepuluh tahun. Belajar kepada ayahandanya tentang fiqih Hambali, belajar hadits dan tafsir kepada para syaikh dari berbagai negeri, terutama di kota Madinah. Beliau memahami tauhid dari Al-Kitab dan As-Sunnah. Perasaan beliau tersentak setelah menyaksikan apa yang terjadi di negerinya Nejed dengan negeri-negeri lainnya yang beliau kunjungi berupa kesyirikan, khurafat dan bid'ah. Demikian juga soal menyucikan dan mengkultuskan kubur, suatu hal yang bertentangan dengan ajaran Islam yang benar.

Ia mendengar banyak wanita di negerinya bertawassul dengan pohon kurma yang besar. Mereka berkata, "Wahai pohon kurma yang paling agung dan besar, aku menginginkan suami sebelum setahun ini."

Di Hejaz, ia melihat pengkultusan kuburan para sahabat, keluarga Nabi (ahlul bait), serta kuburan Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam, hal yang sesungguhnya tidak boleh dilakukan kecuali hanya kepada Allah semata.

Di Madinah, ia mendengar permohonan tolong (istighaatsah) kepada Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam, serta berdo'a (memohon) kepada selain Allah, hal yang sungguh bertentangan dengan Al-Qur'an dan sabda Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam . Al-Qur'an menegaskan:

"Artinya : Dan janganlah kamu menyembah apa-apa yang tidak memberi manfa'at dan tidak (pula) memberi madharat kepadamu selain Allah, sebab jika kamu berbuat (yang demikian) itu, sesungguhnya kamu kalau begitu termasuk orang-orang yang zhalim." [Yunus : 106]

Zhalim dalam ayat ini berarti syirik. Suatu kali, Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam berkata kepada anak pamannya, Abdullah bin Abbas:

"Artinya : Jika engkau memohon, mohonlah kepada Allah, dan jika engkau meminta pertolongan mintalah pertolongan kepada Allah." [Hadits Riwayat At-Tirmidzi, ia berkata hasan shahih)

Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab menyeru kaumnya kepada tauhid dan berdo'a (memohon) kepada Allah semata, sebab Dialah Yang Mahakuasa dan Yang Maha Menciptakan sedangkan selainNya adalah lemah dan tak kuasa menolak bahaya dari dirinya dan dari orang lain. Adapun mahabbah (cinta kepada orang-orang shalih), adalah dengan mengikuti amal shalihnya, tidak dengan menjadikannya sebagai perantara antara manusia dengan Allah, dan juga tidak menjadikannya sebagai tempat bermohon selain daripada Allah.

[1]. Penentangan Orang-Orang Batil Terhadapnya
Para ahli bid'ah menentang keras dakwah tauhid yang dibangun oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab. Ini tidak mengherankan, sebab musuh-musuh tauhid telah ada sejak zaman Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam . Bahkan mereka merasa heran terhadap dakwah kepada tauhid. Allah berfirman:

"Artinya : Mengapa ia menjadikan tuhan-tuhan itu Tuhan Yang Satu saja? Sesungguhnya ini benar-benar suatu hal yang sangat mengherankan." [Shaad : 5]

Musuh-musuh syaikh memulai perbuatan kejinya dengan memerangi dan menyebarluaskan berita-berita bohong tentangnya. Bahkan mereka bersekongkol untuk membunuhnya dengan maksud agar dakwahnya terputus dan tak berkelanjutan. Tetapi Allah Subhannahu wa Ta'ala menjaganya dan memberinya penolong, sehingga dakwah tauhid terbesar luas di Hejaz, dan di negara-negara Islam lainnya.

Meskipun demikian, hingga saat ini, masih ada pula sebagian manusia yang menyebarluaskan berita-berita bohong. Misalnya mereka mengatakan, dia (Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab) adalah pembuat madzhab yang kelima[3], padahal dia adalah seorang penganut madzhab Hambali. Sebagian mereka mengatakan, orang-orang wahabi tidak mencintai Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam serta tidak bershalawat atasnya. Mereka anti bacaan shalawat.

Padahal kenyataannya, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab –rahimahullah- telah menulis kitab "Mukhtashar Siiratur Rasuul Shalallaahu alaihi wasalam ". Kitab ini bukti sejarah atas kecintaan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka mengada-adakan berbagai cerita dusta tentang Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab, suatu hal yang karenanya mereka bakal dihisab pada hari Kiamat.

Seandainya mereka mau mempelajari kitab-kitab beliau dengan penuh kesadaran, niscaya mereka akan menemukan Al-Qur'an, hadits dan ucapan sahabat sebagai rujukannya.

Seseorang yang dapat dipercaya memberitahukan kepada penulis, bahwa ada salah seorang ulama yang memperingatkan dalam pengajian-pengajiannya dari ajaran wahabi. Suatu hari, salah seorang dari hadirin memberinya sebuah kitab karangan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab. Sebelum diberikan, ia hilangkan terlebih dahulu nama pengarangnya. Ulama itu membaca kitab tersebut dan amat kagum dengan kandungannya. Setelah mengetahui siapa penulis buku yang dibaca, mulailah ia memuji Muhammad bin Abdul Wahab.

[2]. Dalam Sebuah Hadits Disebutkan:

" Artinya : Ya Allah, berilah keberkahan kepada kami di negeri Syam, dan di negeri Yaman. Mereka berkata, 'Dan di negeri Nejed.' Rasulullah berkata, 'Di sana banyak terjadi berbagai kegoncangan dan fitnah, dan di sana (tempat) munculnya para pengikut setan." [Hadits Riwayat Al-Bukhari dan Muslim]

Ibnu Hajar Al-'Asqalani dan ulama lainnya menyebutkan, yang dimaksud Nejed dalam hadits di atas adalah Nejed Iraq. Hal itu terbukti dengan banyaknya fitnah yang terjadi di sana. Kota yang juga di situ Al-Husain bin Ali Radhiyallahu anhuma dibunuh.

Hal ini berbeda dengan anggapan sebagian orang, bahwa yang dimaksud dengan Nejed adalah Hejaz, kota yang tidak pernah tampak di dalamnya fitnah sebagaimana yang terjadi di Iraq. Bahkan seba-liknya, yang tampak di Nejed Hejaz adalah tauhid, yang karenanya Allah menciptakan alam, dan karenanya pula Allah mengutus para rasul.

[3]. Sebagian Ulama Yang Adil Sesungguhnya Menyebutkan
Bahwa Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab adalah salah seorang mujaddid (pembaharu) abad dua belas Hijriyah. Mereka menulis buku-buku tentang beliau. Di antara para pengarang yang menulis buku tentang Syaikh adalah Syaikh Ali Thanthawi. Beliau menulis buku tentang "Silsilah Tokoh-tokoh Sejarah", di antara mereka terdapat Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab dan Ahmad bin 'Irfan.

Dalam buku tersebut beliau menyebutkan, akidah tauhid sampai ke India dan negeri-negeri lainnya melalui jama'ah haji dari kaum muslimin yang terpengaruh dakwah tauhid di kota Makkah. Karena itu, kompeni Inggris yang menjajah India ketika itu, bersama-sama dengan musuh-musuh Islam memerangi akidah tauhid tersebut. Hal itu dilakukan karena mereka mengetahui bahwa akidah tauhid akan menyatukan umat Islam dalam melawan mereka.

Selanjutnya mereka mengomando kepada kaum Murtaziqah[4] agar mencemarkan nama baik dakwah kepada tauhid. Maka mereka pun menuduh setiap muwahhid yang menyeru kepada tauhid dengan kata wahabi. Kata itu mereka maksudkan sebagai padanan dari tukang bid'ah, sehingga memalingkan umat Islam dari akidah tauhid yang menyeru agar umat manusia berdo'a hanya semata-mata kepada Allah. Orang-orang bodoh itu tidak mengetahui bahwa kata wahabi adalah nisbat kepada Al-Wahhaab (yang Maha Pemberi), yaitu salah satu dari Nama-nama Allah yang paling baik (Asma'ul Husna) yang memberikan kepadanya tauhid dan menjanjikannya masuk Surga.


[Disalin dari kitab Minhajul Firqah An-Najiyah Wat Thaifah Al-Manshurah, edisi Indonesia Jalan Golongan Yang Selamat, Penulis Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu, Penerjemah Ainul Haris Umar Arifin Thayib, Penerbit Darul Haq]
________
Foote Note
[1]. Dia memohon pertolongan kepada Syaikh Sa’d yang dikuburkan di dalam masjidnya.
[2]. Orang-orang Salaf adalah mereka yang mengikuti jalan para Salafus Shalih. Yaitu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, para sahabat dan tabi’in
[3].Sebab yang terkenal dalam dunia Fiqih hanya ada empat madzhab, Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali.
[4]. Kaum Murtaziqoh yaitu orang-orang bayaran.
Tegakkan Sunnah, Walaupun Seluruh Manusia Meninggalkannya
20.55 | Author: الفجر الصادق
Biasanya seseorang yang terpengaruh dengan lingkungannya, cenderung untuk menyamakan dirinya dengan masyarakat di sekitarnya. Ketika ada suatu sunnah yang tidak dikerjakan oleh masyarakat sekitarnya, maka ia tidak berani melakukannya. Hal itu dikarenakan rasa malu, minder atau khawatir dianggap tidak bermasyarakat. Padahal justru pada masamasa seperti itu seseorang yang menerapkan sunnah akan mendapatkan pahala besar, lima puluh kali lipat pahala para sahabat Rasulullah -Shallallhu ‘alaihi wa salam-.
Ini sesuai dengan sabda beliau -Shallallhu ‘alaihi wa salam-:
“Sesungguhnya di belakang kalian nanti ada hari-hari sabar bagi orang-orang yang pada waktu itu berpegang dengan apa yang kalian ada di atasnya. Mereka akan mendapatkan pahala lima puluh kali dari kalian”. Para shahabat bertanya: “Wahai nabi Allah, apakah lima puluh kali pahalanya dari mereka?” beliau -Shallallhu ‘alaihi wa salam- menjawab: “Bahkan dari kalian”. (HR. Marwazi dalam As-Sunnah)
Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Rasulullah -Shallallhu ‘alaihi wa salam- bersabda:
Sesungguhnya di belakang kalian ada hari-hari dimana orang yang sabar ketika itu seperti memegang bara api. Mereka yang mengamalkan sunnah pada hari itu akan mendapatkan pahala lima puluh kali dari kalian yang mengamalkan amalan tersebut. Para Shahabat bertanya: “Mendapatkan pahala lima puluh kali dari kita atau dari mereka?” Rasulullah -Shallallhu ‘alaihi wa salam- menjawab: “Bahkan lima puluh kali pahala dari kalian”. (HR. Tirmidzi, Abu Dawud, Ibnu Majah, Ibnu Hibban dan Hakim. Dan dishahihkan oleh Imam Hakim dan disepakati oleh Dzahabi; lihat Dlaruratul Ihtimam, Syaikh Abdus Salam bin Barjas, hal. 49)
Maka kaidah yang keempat dalam penerapan sunnah adalah “Kita tetap mengamalkan sunnah walaupun seluruh manusia meninggalkannya”. Kaidah ini tidak bertentangan dengan kaidah ketiga, yang membimbing kita agar memperhatikan maslahat dan mafsadah, karena matinya suatu sunnah jelas merupakan mafsadah besar. Oleh karena itu ketika manusia melupakan suatu sunnah, maka semestinya kita menghidupkannya agar manusia mengenalinya.
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah: ”Tidak mengapa kita meninggalkan suatu perkara yang mustahab (tidak wajib), tetapi kita tetap tidak boleh meninggalkan keyakinan disunnahkannya amalan tersebut. Karena mengenali sunnahnya amalan tersebut merupakan fardu kifayah agar tidak hilang sedikitpun dari agama ini.” (Majmu’ Fatawa, juz IV, hal. 436)
Semoga Allah merahmati Ibnul Qayyim rahimahullah ketika dia berkata: “Kalau semua perkara yang mustahab ditinggalkan, maka akan hilanglah sunnah-sunnah Rasulullah -Shallallhu ‘alaihi wa salam- dan akan lenyap garis-garisnya serta sirna jejak-jejaknya. Betapa banyak amalan-amalan yang dilaksanakan menyelisihi sunnah yang jelas, sesuai dengan bertambah jauhnya zaman sampai sekarang. Setiap waktu ada sunnah yang ditinggalkan dan dikerjakan yang selainnya, begitulah seterusnya. Akhirnya kau lihat sedikit sekali sunnah yang dikerjakan, itupun dalam keadaan tidak sempurna….”. (I’lamul Muwaqi’in, 2/395; Lihat Dlaruratul Ihtimam, Syaikh Abdus Salam bin Barjas, hal. 86)
Demikianlah, jika manusia dibiarkan meninggalkan perkara yang sunnah, kemudian kita juga tidak mau menegakkannya karena masyarakat tidak mengerjakannya, niscaya akan matilah sunnah dan tidak dikenal lagi oleh masyarakat. Suatu saat kelak ketika ada yang mengerjakan sunnah tersebut akan dianggap sebagai orang yang mengerjakan kebid’ahan.
Sebagai contoh, sunnah yang telah diperintahkan oleh Allah, dilakukan oleh Rasulullah -Shallallhu ‘alaihi wa salam-, para sahabatnya dan para ulama yang setelahnya, yaitu sunnah taaddud atau Poligami. Betapa kerasnya manusia --bahkan kaum muslimin sendiri— yang menentang sunnah ini. Orang yang melakukannya seakan-akan dia adalah orang jahat yang melakukan suatu aib yang besar. Padahal asal perintah Allah dalam masalah perkawinan adalah untuk berpoligami. Kecuali mereka yang tidak mampu untuk berbuat adil, maka diberi keringanan untuk beristeri satu saja.
Allah -Subhanahu wa Ta’ala- berfirman:
…maka nikahilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. (an-Nisaa’: 3)
Ini adalah salah satu bukti tentang satu perkara sunnah yang jika ditinggalkan oleh kebanyakan kaum muslimin dalam kurun waktu yang lama, maka manusia akan mengingkari sunnah tersebut seperti pengingkaran mereka terhadap suatu kebidahan atau bahkan lebih dari itu.
Memang orang yang memulai menghidupkan suatu sunnah pada masa umat meninggalkannya akan mendapatkan resiko yang berat, sebagaimana yang telah disebutkan dalam riwayat di atas. Orang yang mengerjakannya seperti orang yang memegang bara api. Jika dipegang tangan terbakar, namum jika dilepaskan kita akan tersesat jauh dari jalan Rasulullah -Shallallhu ‘alaihi wa salam-. Namun resiko itu sesuai dengan pahalanya yang besar, yaitu limapuluh kali para sahabat.
Di samping itu, agama ini memang bermula dengan keasingan dan pada saatnya akan kembali asing seperti permulaannya. Jika dengan alasan masih asing, kemudian kita meninggalkan sunnah maka akan lenyaplah Islam. Rasulullah -Shallallhu ‘alaihi wa salam- telah mengkhabarkan akan asingnya agama ini pada mulanya dan akan kembali menjadi asing pada saatnya. Namun beliau juga sekaligus memberikan kabar gembira bagi orang-orang yang terasing karena menjalankan agama ini.
Sesungguhnya Islam bermula dengan keasingan dan akan kembali asing seperti permulaannya, maka berbahagialah orang-orang yang asing. (HR. Muslim)
Untuk itu janganlah perasaan asing, malu, takut, dan lain-lain menjadikan kita meninggalkan sunnah. Kita harus ingat bahwa sunnah adalah Islam, dan Islam tidak lain melainkan kumpulan sunnah-sunnah. Sebagaimana dikatakan oleh Imam al Barbahari dalam bukunya, Syarhus Sunnah: “Islam adalah sunnah dan Sunnah adalah Islam. Tidak akan tegak salah satunya kecuali dengan yang lainnya”.
Jika berkurang satu sunnah maka berkuranglah kesempurnaan Islam, begitulah seterusnya hingga akan hilanglah Islam secara keseluruhan. Berkata Abdullah Ibnu Dailami: ”Sesungguhnya awal pertama hilangnya agama ini adalah ditinggalkannya sunnah. Agama ini akan hilang satu sunnah demi satu sunnah seperti hilangnya tali satu kekuatan demi kekuatan”. (Ushul I’tiqad Ahlussunnah, Al Lalikai 1/93).
Oleh karena itulah Ahlul bid’ah dikatakan oleh para ulama sebagai orang yang ikut andil dalam menghancurkan Islam. Karena dengan kebidahan yang mereka lakukan, maka ada sunnah yang tergeser. Semakin banyak bid’ah dikerjakan, semakin banyak pula sunnah yang hilang, hingga hancurlah Islam.
Berkata Al Auza’i dari Hassan bin Athiyyah: ”Tidaklah suatu kaum mengadakan suatu kebid’ahan kecuali Allah akan mencabut suatu sunnah yang semisalnya. Kemudian tidak akan dikembalikan kepada mereka sampai hari kiamat”.
Dan berkata Ibnu Abbas -Radhiallahu ‘anhu-: “Tidaklah datang kepada manusia satu tahun kecuali mereka mengadaadakan satu kebid’ahan dan mematikan satu sunnah. Demikianlah hingga berkembanglah kebid’ahan dan matilah sunnah”. (al-Bida’ wa nahyu ‘anha,hal. 38-39; lihat Dlaruratul Ihtimam, hal. 85).
Sedangkan Ibnu Taimiyyah dalam Iqtidha’nya menyatakan bahwa orang-orang yang mematikan sunnah itu ada dua jenis. Pertama orang-orang yang mengerjakan kebid’ahan-kebid’ahan dan yang kedua orang-orang yang tidak mau menghidupkan sunnah.
Ketahuilah bahwa di samping resiko yang akan dihadapi oleh orang yang memulai menghidupkan sunnah, ada pula maslahat bagi agama yang besar yaitu hidupnya sunnah. Adapun mafsadah atau resiko yang dihadapinya hanyalah bersifat pribadi. Tentunya maslahat agama harus lebih diutamakan daripada maslahat pribadi. Dengarkanlah apa yang diucapkan oleh Imam asySyatibi berikut: “Aku ragu dan berulang kali menghitung antara menerapkan sunnah dengan konsekwensi menyelisihi kebiasaan manusia yang tentunya akan mendapatkan resiko seperti apa yang telah didapatkan oleh orang yang menyelisihi adat kebiasaan kaumnya; apalagi kalau mereka menganggap apa yang biasa mereka lakukan tidak lain adalah sunnah; namun di samping resiko yang berat itu ada pahala yang besar. Atau aku memilih untuk mengikuti kebiasaan mereka dengan konsekuensi menyelisihi sunnah dan menyelisihi jalan salafus shalih hingga aku digolongkan termasuk orang-orang yang menyimpang –Naudzubillah min dzalika—Namun karena aku mencocoki kebiasaan manusia akan dianggap sebagai orang yang bisa bermasyarakat dan tidak termasuk orang yang menyelisihi adat. Akhirnya aku berpendapat bahwa kebinasaan dalam mengikuti sunnah adalah keselamatan, dan bahwasanya manusia tidak akan bisa mencukupi aku dari Allah sedikitpun”. (Dlaruratul Ihtimam, Syaikh, Abdus Salam bin Barjas hal. 88)

source
Telaga Rasulullah di Surga dan Golongan Yang Terusir
20.38 | Author: الفجر الصادق
Setiap Nabi Memiliki Telaga (Haudh)
Lafazh al-haudh ( الحوض ) secara bahasa adalah al-jam’u (kumpulan), dikatakan menghimpun (mengumpulkan) air, lalu ditempatkan pada suatu wadah apabila telah terkumpul. Kadang-kadang dimaknai dengan wadah air. Secara syar’i (terminologi), makna al-haudh adalah telaga air yang turun dari sungai surga pada hari kiamat yang diperuntukkan bagi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana yang ditunjukkan oleh hadits-hadits mutawatir dan berdasarkan kesepakatan ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sesungguhnya aku telah mendahului kalian menuju al-haudh…” (HR. Bukhari dan Muslim dari sahabat Sahl bin Sa’d).

Setiap Nabi ‘alaihimus shalaatu wa sallam memiliki telaga. Namun telaga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah yang paling besar, paling mulia, paling indah, dan paling banyak pengikutnya. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang artinya,

“Sesungguhnya setiap Nabi memiliki telaga, mereka membanggakan diri, siapa di antara mereka yang paling banyak peminumnya (pengikutnya). Dan aku berharap, akulah yang paling banyak pengikutnya.” (HR. Tirmidzi)

Karakteristik Telaga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
Telaga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam airnya lebih putih dari susu. Rasanya lebih manis daripada madu. Lebih harum dari minyak kesturi. Panjangnya sama dengan lebarnya, yaitu satu bulan perjalanan. Gayungnya bagaikan bintang di langit dalam jumlah dan indahnya. Telaga Rasulullah memiliki dua saluran yang dihubungkan ke surga, yaitu ke sungai al-Kautsar. Barangsiapa yang minum seteguk air darinya, maka tidak akan kehausan lagi selamanya.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya,
“Telagaku (panjang dan lebarnya) satu bulan perjalanan, airnya lebih putih daripada susu, aromanya lebih harum daripada kesturi, bejananya sebanyak bintang di langit, siapa yang minum darinya, ia tidak akan merasa haus selamanya.” (HR. Bukhari).

Lalu, dimanakah letak haudh? Ulama berbeda pendapat tentang letak haudh, apakah setelah atau sebelum shirath (jembatan yang dibentangkan di atas Neraka Jahannam yang akan dilewati umat manusia menuju Surga sesuai amal perbuatan mereka).

Imam Qurthubi mengatakan bahwa haudh terletak sebelum manusia meniti shirath, tepatnya di padang makhsyar. Dalilnya adalah ada sebagian orang yang ingin ke haudh, namun ia diusir darinya. Sedang Imam Bukhari berpendapat bahwa letak haudh adalah setelah shirath. Walllahu Ta’ala a’lam, pendapat yang terkuat adalah pendapat Imam Qurthubi.

Orang-Orang yang Diusir dari Telaga
Sungguh indah telaga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun tidak semua umat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bisa minum dari telaga beliau. Akan ada orang-orang yang diusir dari telaga beliau. Siapakah mereka?

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sungguh akan ada yang terusir dari telaga di antara umatku. Celakalah orang yang mengganti-ganti agama setelah aku meninggal dunia.”

Salah satu golongan manusia yang akan diusir dari telaga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang-orang yang mengganti-ganti syari’at yang telah Rasulullah ajarkan. Maka hendaknya kita berhati-hati akan hal ini. Kerjakanlah ibadah hanya yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lakukan dan ajarkan kepada umatnya. Periksalah setiap amal ibadah kita, sesuaikah dengan tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam? Tanyalah diri kita ketika hendak melakukan sebuah ibadah, apakah ibadah tersebut sesuai dengan syari’at yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam? Adakah dalil yang memerintahkannya? Karena setiap amal ibadah hukum asalnya adalah haram dikerjakan, kecuali jika ada dalil yang mensyariatkannya.

Imam Qurthubi mengatakan bahwa ulama berpendapat setiap orang yang murtad dan ahlu bid’ah (ahli bid’ah) adalah orang yang terusir dari telaga. Yang paling keras pengusirannya adalah yang paling jauh dan menyimpang dari ajaran para salaf.

Termasuk di dalamnya adalah orang yang berbuat zholim dan menutupi kebenaran, memusuhi dan menghina orang-orang yang membela kebenaran, serta orang-orang yang mengikuti hawa nafsu dan bid’ah.

Adapun orang-orang munafik, akan disikapi sebagaimana sikap yang nampak. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam akan mengajaknya ke telaga, lalu disingkapkan tabir mereka sehingga diketahui bahwa mereka kafir. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Menjauhlah kalian!”

Dikenali dari Bekas Wudhu
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “(Panjang sisi) telagaku lebih jauh jaraknya antara Ailah dan ‘Adn (keduanya adalah nama tempat), lebih putih dari salju, lebih manis daripada madu yang dicampur susu, bejana-bejananya lebih banyak dari jumlah bintang-bintang, dan aku benar-benar akan menghalangi manusia darinya sebagaimana seorang yang menghalangi unta milik orang lain dari telaganya. Para shahabat bertanya, “Ya Rasulullah, apakah engkau mengenali kami waktu itu?” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Ya, kalian memiliki tanda yang tidak dimiliki oleh umat-umat yang lain. Kalian datang kepadaku dengan anggota wudhu yang putih bersinar dari bekas wudhu”. (HR. Muslim)

Demikianlah saudariku, sedikit pembahasan tentang telaga Rasulullah. Semoga kita dapat berkunjung ke telaga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Meminum airnya yang lebih putih dari susu, lebih harum dari kesturi, dan lebih manis dari madu. Aamiin ya Mujibas Saailin.

Teks Asli Telah Disesuaikan
Muraja’ah : Ustadz Nur Kholis, Lc.
Maraji’ : Syarah Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah karya
Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas. Pustaka Imam Asy-Syafi’i
Kajian kitab Ushulus Sunnah karya Imam Ahmad oleh Ustadz Aris Munandar